filosofi rumah joglo
Filosofi Rumah Joglo
foto dari dagdigdug.com
FILOSOFI RUMAH JOGLO
Rumah joglo merupakan bangunan arsitektur tradisional jawa tengah, rumah
joglo mempunyai kerangka bangunan utama yang terdiri dari soko guru
berupa empat tiang utama penyangga struktur bangunan serta tumpang sari
yang berupa susunan balok yang disangga soko guru.
Susunan ruangan pada Joglo umumnya dibagi menjadi tiga bagian yaitu ruangan pertemuan yang disebut pendhapa, ruang tengah atau ruang yang dipakai untuk mengadakan pertunjukan wayang kulit disebut pringgitan, dan ruang belakang yang disebut dalem atau omah jero sebagai ruang keluarga. Dalam ruang ini terdapat tiga buah senthong (kamar) yaitu senthong kiri, senthong tengah dan senthong kanan.
Terjadi penerapan prinsip hirarki dalam pola penataan ruangnya.
Setiap ruangan memiliki perbedaan nilai, ruang bagian depan bersifat
umum (publik) dan bagian belakang bersifat khusus (pribadi/privat).
Uniknya, setiap ruangan dari bagian teras, pendopo sampai bagian
belakang (pawon dan pekiwan) tidak hanya memiliki fungsi tetapi juga
sarat dengan unsur filosofi hidup etnis Jawa. Unsur religi/kepercayaan
terhadap dewa diwujudkan dengan ruang pemujaan terhadap Dewi Sri (Dewi
kesuburan dan kebahagiaan rumah tangga) sesuai dengan mata pencaharian
masyarakat Jawa (petani-agraris). Ruang tersebut disebut krobongan,
yaitu kamar yang selalu kosong, namun lengkap dengan ranjang, kasur,
bantal, dan guling dan bisa juga digunakan untuk malam pertama bagi
pengantin baru (Widayat, 2004: 7). Krobongan merupakan ruang khusus yang
dibuat sebagai penghormatan terhadap Dewi Sri yang dianggap sangat
berperan dalam semua sendi kehidupan masyarakat Jawa.Susunan ruangan pada Joglo umumnya dibagi menjadi tiga bagian yaitu ruangan pertemuan yang disebut pendhapa, ruang tengah atau ruang yang dipakai untuk mengadakan pertunjukan wayang kulit disebut pringgitan, dan ruang belakang yang disebut dalem atau omah jero sebagai ruang keluarga. Dalam ruang ini terdapat tiga buah senthong (kamar) yaitu senthong kiri, senthong tengah dan senthong kanan.
Jadi dalam pemetaan ruang rumah Joglo ada tiga peta ruang utama yaitu :
• Pendopo
• Pringgitan, dan
• Dalem
Pendopo
Pendopo letaknya di depan, dan tidak mempunyai dinding atau terbuka, hal ini berkaitan dengan filosofi orang Jawa yang selalu bersikap ramah, terbuka dan tidak memilih dalam hal menerima tamu. Pada umumnya pendopo tidak di beri meja ataupun kursi, hanya diberi tikar apabila ada tamu yang datang, sehingga antara tamu dan yang punya rumah mempunyai kesetaraan dan juga dalam hal pembicaraan atau ngobrol terasa akrab rukun (rukun agawe santosa).
Pringgitan
Pringgitan memiliki makna konseptual yaitu tempat untuk memperlihatkan diri sebagai simbolisasi dari pemilik rumah bahwa dirinya hanya merupakan bayang-bayang atau wayang dari Dewi Sri (dewi padi) yang merupakan sumber segala kehidupan, kesuburan, dan kebahagiaan (Hidayatun, 1999:39). Menurut Rahmanu Widayat (2004: 5), pringgitan adalah ruang antara pendhapa dan dalem sebagai tempat untuk pertunjukan wayang (ringgit), yaitu pertunjukan yang berhubungan dengan upacara ruwatan untuk anak sukerta (anak yang menjadi mangsa Bathara Kala, dewa raksasa yang maha hebat).
Dalem (Ruang Utama)
Dalem atau ruang utama dari rumah joglo ini merupakan ruang pribadi pemilik rumah. Dalam ruang utama dalem ini ada beberapa bagian yaitu ruang keluarga dan beberapa kamar atau yang disebut senthong. Pada masa dulu, kamar atau senthong hanya dibuat tiga kamar saja, dan peruntukkan kamar inipun otomatis hanya menjadi tiga yaitu kamar pertama untuk tidur atau istirahat laki-laki kamar kedua kosong namun tetap diisi tempat tidur atau amben lengkap dengan perlengkapan tidur, dan yang ketiga diperuntukkan tempat tidur atau istirahat kaum perempuan.
Kamar yang kedua atau yang tengah biasa disebut dengan krobongan yaitu tempat untuk menyimpan pusaka dan tempat pemujaan terhadap Dewi Sri. Senthong tengah atau krobongan merupakan tempat paling suci/privat bagi penghuninya.
Di dalam dalem atau krobongan disimpan harta pusaka yang bermakna gaib serta padi hasil panen pertama, Dewi Sri juga dianggap sebagai pemilik dan nyonya rumah yang sebenarnya. Di dalam krobongan terdapat ranjang, kasur, bantal, dan guling, adalah kamar malam pertama bagi para pengantin baru, hal ini dimaknai sebagai peristiwa kosmis penyatuan Dewa Kamajaya dengan Dewi Kama Ratih yakni dewa-dewi cinta asmara perkawinan(Mangunwijaya, 1992: 108). Di dalam rumah tradisi Jawa bangsawan Yogyakarta, senthong tengah atau krobongan berisi bermacam-macam benda-benda lambang (perlengkapan) yang mempunyai kesatuan arti yang sakral (suci). Macam-macam benda lambang itu berbeda dengan benda-benda lambang petani. Namun keduanya mempunyai arti lambang kesuburan, kebahagiaan rumah tangga yang perwujudannya adalah Dewi Sri (Wibowo dkk., 1987 : 63).
Agus Semarang's Blog
Sumber :
Wacana Nusantara
Komentar
Posting Komentar